Bank Dunia: 60,3 Persen Masyarakat Indonesia Merupakan Penduduk Miskin
Bank Dunia: 60,3 Persen Masyarakat Indonesia Merupakan Penduduk Miskin
Ilustrasi. (Foto: istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Bank Dunia atau World Bank masih mengkategorikan mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin. Berdasarkan data Bank Dunia, sebanyak 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia dari jumlah penduduk pada 2024 sebesar 285,1 juta jiwa, masuk dalam kategori miskin.

Persentase penduduk miskin yang setara 171,91 juta jiwa itu didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar 6,85 dolar AS per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp115.080 per orang per hari (kurs Rp16.800/dolar AS).

Meski masih menjadi mayoritas, perkiraan persentase penduduk miskin untuk 2024 itu turun dibanding 2023 yang sebesar 61,8%. Proyeksi tingkat kemiskinan Indonesia pada 2025 pun Bank Dunia perkirakan akan semakin menurun menjadi 58,7%, 2026 menjadi 57,2%, dan pada 2027 menjadi 55,5%.

“Meskipun permintaan yang kuat telah mendukung kinerja ekonomi yang stabil dan menurunkan angka kemiskinan, percepatan pertumbuhan memerlukan penerapan reformasi struktural untuk meningkatkan potensi pertumbuhan negara dan mengurangi risiko overheating,” dikutip dari laporan Bank Dunia berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Selasa (29/04).

Selain menggunakan acuan kategori negara berpendapatan menengah ke atas, dalam laporan ‘Macro Poverty Outlook’ edisi April 2025, World Bank juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan RI berdasarkan acuan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah atau lower middle income.

Berdasarkan acuan negara berpendapatan kelas menengah ke bawah dengan PPP sebesar 3.65 dolar AS atau Rp60.600 per kapita per hari, tingkat kemiskinan RI berada di level 15,6% pada 2024 kemarin; 17,5% pada 2023; dan 19,1% pada 2022.

Sementara untuk 2025, menggunakan acuan ini World Bank memprediksi tingkat kemiskinan Indonesia kembali turun jadi 14,2%. Kemudian angka ini diramal kembali turun jadi 12,8% pada 2026, dan 11,5% pada 2027.

Dibanding negara tetangga, jumlah kemiskinan di Indonesia pada 2024 itu peringkat kedua setelah Laos yang sebesar 68,5%. Sedangkan di Malaysia lebih tinggi karena negara itu hanya 1,3% tingkat kemiskinannya, Thailand pun hanya 7,1%, Vietnam 18,2% dan Filipina 50,6%.

Menanggapi data Bank Dunia tersebut, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengimbau semua pihak untuk menyikapi laporan itu secara bijak. “Mari kita lebih bijak memaknai dan memahami angka kemiskinan bank dunia karena itu bukanlah sesuatu keharusan kita menerapkan, itu hanya referensi saja,” kata Amalia.

Amalia menjelaskan, sebabnya perhitungan 60,3% penduduk Indonesia miskin yang dilakukan Bank Dunia itu menggunakan standar perhitungan berdasarkan kelas menengah atas yang memiliki daya beli yang lebih tinggi. Dengan pengeluaran setara 6,85 dolar AS per kapita PPP (Purchasing Power Parity).

Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Indonesia menggunakan dasar pemenuhan kebutuhan dasar. Besarannya adalah Rp595.242 per bulan. Artinya Bank Dunia memiliki standar perhitungan angka daya kemiskinan yang berbeda dengan yang dilakukan oleh BPS.

“Kita perlu bijak dalam memaknai angka yang disampaikan oleh Bank Dunia mengenai kemiskinan, yang 60,3% itu. Sebagai informasi, yang digunakan standar oleh Bank Dunia dan memperoleh data 60,3% itu adalah standar upper middle cass 6,85 dolar AS per kapita per hari PPP,” kata Amalia.

PPP memiliki nilai yang berbeda tergantung dari negaranya. Dalam hal ini yang ditetapkan untuk Indonesia Rp4.756 pada 2017, sehingga menurut Amalia, tidak bisa semerta-merta bisa dikonversi langsung nilai tukar yang ada saat ini.

“Artinya kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP Base-nya 2017. Makanya angka konversinya akan berbeda,” sambungnya.

Dalam laporan itu Bank Dunia juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan acuan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power Parity atau paritas daya beli masyarakat. Adapun, kategori international poverty rate yang ditetapkan sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate 3,65 dolar AS per kapita per hari.

Menurut Amalia, global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak bisa langsung diterapkan pada seluruh negara. Karena tiap negara memiliki national poverty rate berbeda, yang diukur berdasarkan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut.

“Global poverty line yang ditetapkan Bank Dunia itu tidak sekonyong-konyong langsung bisa diterapkan oleh masing-masing negara,” katanya.

Lebih lanjut, Amalia juga menjelaskan BPS juga melakukan perhitungan garis kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia. Menurutnya perhitungannya menggunakan basis bukan berhasal dari national poverty, melainkan angka kemiskinan di masing-masing provinsi.

“Waktu kita menghitung angka kemiskinan basisnya bukan national povery line, tapi angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian kita agregasi jadi angka nasional,” jelas Amalia.

“Dengan demikian kita bisa menunjukan standar hidup di provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Papua Selatan. Provinsi DKI dan Papua Selatan juga memiliki garis kemiskinan yang berbeda,” katanya.

(Cw 1)
Berantas Korupsi ke Akar-akarnya!Legislator Dukung Niat Presiden Prabowo Soal RUU Perampasan Aset
Berantas Korupsi ke Akar-akarnya!Legislator Dukung Niat Presiden Prabowo Soal RUU Perampasan Aset
BPOM Gandeng Puskesmas, Mitigasi Keracunan Akibat MBG
BPOM Gandeng Puskesmas, Mitigasi Keracunan Akibat MBG
Kehadiran Prabowo di Peringatan May Day Cermin Keseriusan Pemerintah Perjuangkan Aspirasi Buruh
Kehadiran Prabowo di Peringatan May Day Cermin Keseriusan Pemerintah Perjuangkan Aspirasi Buruh
Janji yang Dilontarkan Prabowo Bukti Keberpihakan Pada Buruh, Hadiah May Day
Janji yang Dilontarkan Prabowo Bukti Keberpihakan Pada Buruh, Hadiah May Day