Sengketa Tanah di Palembang, Rakyat Kecil Jadi Korban, Negara ke Mana?
Sengketa Tanah di Palembang, Rakyat Kecil Jadi Korban, Negara ke Mana?
Warga Kelurahan Sidamulya dan Srimulya menggelar aksi demo menolak petugas BPN yang akan melakukan pengukuran di Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Jakarta, MERDEKANEWS - Pemerintah perlu hadir dalam menengahi sengketa sengketa tanah di Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Apalagi rakyat kecil harus berhadapan dengan pengusaha asal Palembang, H Halim.

Mantan Ketua Komnas HAM, Prof Hafid Abbas mengatakan, sudah waktunya bagi pemerintah untuk membuktikan keberpihakan kepada rakyat kecil, terkait konflik agraria di daerah. Apalagi, kata Prof Hafid, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan program reforma agraria, berupa bagi-bagi tanah untuk wong cilik. Saat ini, lahan lebih banyak dikuasai korporasi, bahkan pengusaha daerah acapkali bertindak semenang-mena dengan menyerobot tanah rakyat.

"Perbandingannya sesuai HAM bisa 1:2:3. Satu bagian untuk perusahaan atau korporasi, dua bagian rakyat menengah dan tiga bagian untuk rakyat kecil. Ini akan efektif dalam menanggulangi ketimpangan ekonomi," papar Prof Hafid kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/2/2018).

Program reforma agraria yang diusung Presiden Jokowi, kata dia, harus diakui cukup brilian. Bahwa disediakan 9 juta hektar lahan untuk rakyat kecil. Hanya saja, apakah lahannya tersedia? "Kenapa tidak yang jelas-jelas saja. Semisal, Sinar Mas punya lahan 6 hektar. Diambil alih saja kemudian dibagi dengan konsel 1:2;3 itu. Namun demikian, saya melihat gebrakan pak presiden ada positifnya," terang Prof Hafid.

Terkait sengketa tanah di daerah, salah satunya di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan, dirinya menyarankan hadirnya pemerintah.

Hampir bisa dipastikan, warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya akan kalah karena berhadapan dengan H Halim, pengusaha besar asal Palembang. "Aparat di sana tentu akan lebih berpihak kepada yang kuat. Sesuai teori Darmin, yang kuat bisa mengatur yang berkuasa," kata dia.

Memang benar pandangan Prof Hafid. Di mana, BPN serta aparat kepolisian setempat, cenderung pro pengusaha yakni H Halim, ketimbang warga dua kelurahan itu.

Dalam kasus ini, H Halim mengklaim lahan seluas 405 hektar. Hal itu dikuatkan dengan adanya putusan pengadilan. Sementara, 8 ribu kepala keluarga (KK) juga merasa berhak atas tanah tersebut. Alhasil, ratusan warga melakukan demo besar-besaran pada September 2017.

Mereka memblokade jalan dua desa serta mengusir petugas BPN yang hendak melakukan pengukuran lahan. Kondisi ini, dikhawatirkan bisa meletup di kemudian hari.

 

 

(setyaki purnomo)
Mbah Tupon Jadi Korban: Jangan Sampai Tanah Rakyat Habis Dicuri Mafia Tanah!
Mbah Tupon Jadi Korban: Jangan Sampai Tanah Rakyat Habis Dicuri Mafia Tanah!
Kebakaran Kantor ATR/BPN Dipastikan Tak Terkait Penghilangan Barbuk Kasus Pagar Laut
Kebakaran Kantor ATR/BPN Dipastikan Tak Terkait Penghilangan Barbuk Kasus Pagar Laut
Pihak yang Terlibat Sudah Jadi Rahasia Umum tapi Kenapa Penanganan Kasus Sertifikat Pagar Laut Lamban?
Pihak yang Terlibat Sudah Jadi Rahasia Umum tapi Kenapa Penanganan Kasus Sertifikat Pagar Laut Lamban?
Langkah Tegas Menteri Nusron Membatalkan Penerbitan Sertifikat Pagar Laut Harus Didukung!
Langkah Tegas Menteri Nusron Membatalkan Penerbitan Sertifikat Pagar Laut Harus Didukung!
Pagar Laut Tangerang, Kholid: Sampai Kiamat Nelayan Tetap Miskin Kalau Laut Dikelola Korporasi!
Pagar Laut Tangerang, Kholid: Sampai Kiamat Nelayan Tetap Miskin Kalau Laut Dikelola Korporasi!