
MERDEKANEWS -Deforestasi kawasan hutan di Indonesia menurun tajam di era pemerintahan Presiden Jokowi. Penurunan tersebut dilakukan dalam hitungan areal dari citra satelit.
Hasil itu sejalan dengan upaya-upaya yang cukup gigih dan keras dilakukan pemerintah dan masyarakat, termasuk dorongan aktivis di tingkat lapangan, terutama dengan penegakan hukum dan pengendalian regulasi seperti moratorium.
"Tidak tepat apabila hasil kerja keras itu kemudian direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademi bidang studi kehutanan," kata Menteri LHK, Siti Nurbaya, Jumat (5/06).
Oleh karena itu, Siti memerintahkan kepada Kepala Biro Humas LHK dan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan yang secara teknis menangani untuk menjelaskan bagaimana metode, definisi dan batasan dijelaskan ke ruang publik supaya masyarakat mendapatkan informasi yang adil.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Belinda Arunarwati Margono mengatakan, dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hutan primer dan hutan sekunder merupakan bagian dari hutan alam.
“Hutan Primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan Hutan sekunder; sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman,” papar Belinda.
Menurut Belinda, menyamakan terminologi Primary Forest yang dipakai Global Forest Watch (GFW) yang merupakan hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%, dengan hutan primer sesuai definisi Indonesia, adalah kurang tepat.
Karena apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka yang dinamai Primary Forest sesungguhnya adalah hutan alam dan tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan Pemerintah Indonesia.
“Perbedaan terminologi ini harus diluruskan karena pengertiannya yang beda dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Dan pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia,” tuturnya.
Sebagai informasi, dari pertama dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover.
Dalam hal ini, kata Belinda, tree cover akan mencakup apapun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan (tahun sumber data, misalnya untuk GFW menggunakan tahun awal pengamatan tahun 2000).
Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan. Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi atau data tree cover loss, maka perubahan (loss) yang terdeteksi, terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut.
Metodologi yang digunakan KLHK, termasuk penggunaan definisi hutan primer, telah dipublikasikan kepada publik internasional melalui dokumen resmi negara berjudul “National Forest Reference Emission Level (FREL) yang secara resmi dikeluarkan oleh KLHK pada, 18 September 2015.
Dokumen tersebut telah diterima serta disetujui oleh UNFCCC melalui proses verifikasi internasional pada, November 2016. Hal ini menggambarkan bahwa metode dan data Indonesia sudah well-recognized di dunia internasional.
“Maka definisi dan terminologi yang digunakan selain yang bersumber dari dokumen tersebut, harus diberikan keterangan dan informasi yang memadai agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah,” ucapnya.
Lebih lanjut, Belinda menyampaikan KLHK juga mempunyai sistem Pemantauan Hutan sendiri yang independen dan diakui di dunia internasional yaitu National Forest Monitoring System/NFMS SIMONTANA), dan dipakai dalam pelaporan-pelaporan ke dunia Internasional, seperti laporan ke FAO, UNFCCC (termasuk FREL), dan UNFF.
“Oleh karena itu, kami sebetulnya keberatan terhadap penggunaan informasi berbasis tutupan pohon (tree cover) yang sering di adopsi beberapa kalangan dan dikaitkan dengan perhitungan luas deforestasi di Indonesia. Karena itu tidak tepat,” tegasnya
(MUH)