LP3ES: Pemerintah Jokowi Dinilai Gagal Hadirkan Komunikasi Krisis selama Pandemi Corona
LP3ES: Pemerintah Jokowi Dinilai Gagal Hadirkan Komunikasi Krisis selama Pandemi Corona
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto

Jakarta, MERDEKANEWS -- Pemerintah Joko Widodo dinilai gagap dalam menghadapi pandemi COVID-19. Tidak hanya dalam sisi kesehatan, pemerintah gagal dalam menghadirkan komunikasi krisis selama memutus rantai virus asal Wuhan, China.

Wijayanto, Ph.D (Center for Media and Democracy, LP3ES) memaparkan temuan riset LP3ES tentang pola komunikasi politik pemerintah di masa pandemi yang mengabaikan peringatan ilmuwan komunikasi tentang bagaimana komunikasi krisis yang baik semestinya dilakukan.

Menurutnya, salah satu model yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi yang efektif di masa bencana adalah Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) yang digagas oleh Barbara Reynolds dan Matthew W Seeger (2005) yang terdiri dari 5 tahapan: sebelum krisis (pre-crisis), awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution) dan evaluasi (evaluation).

"Pada tahap sebelum krisis, pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi. Hal ini bertujuan agar komunikasi pra-krisis dapat meningkatkan kepercayaan diri publik dan juga mengajak semua pemangku kepentingan (lembaga pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi sipil) untuk mengkomunikasikan hal yang sama," papar Wijayanto, dalam diskusi online bertema Biarkan Ilmu Pengetahuan Memandu: Mendorong Kebijakan Berbasis Riset di Masa Pandemi yang disiarkan di YouTube, Sabtu (9/5/2020).

Lebih lanjut Wijayanto menambahkan, memasuki fase awal krisis, pemerintah perlu menyediakan informasi melalui satu pintu. Ini memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita. Pemerintah perlu menyusun pesan yang komprehensif sehingga publik mengerti mengenai krisis yang terjadi, konsekuensi, dan antisipasi aksi berdasarkan data terkini. Ini dimaksudkan agar publik siaga terhadap langkah lanjutan.

"Pada fase krisis, pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui. Pemerintah perlu melakukan ini dengan cara memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengkoreksi rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan paska krisis," tegasnya.

Selain itu, dia menyebutkan bahwa ada 5 ciri-ciri komunikasi pemerintah yang buruk di masa pandemi:

Pertama, komunikasi pemerintah kurang responsive. Pemerintah lamban dalam merespon himbauan komunitas ilmuwan tentang kemungkinan kehadiran corona di Indonesia sejak Januari 2020. Meskipun protes telah muncul dari kalangan jurnalis, akademisi, wakil rakyat dan masyarakat sipil tentang bahaya pengabaian atas kemungkinan masuknya corona di Indonesia, pemerintah terus menyampaikan pesan penolakan atas kemungkinan ini. Penolakan itu terefleksi dari statement presiden, wakil presiden dan berbagai kementerian bahwa kita bebas corona dan untuk itu maka pariwisata perlu lebih didorong, kritik WHO dan ilmuwan luar negeri bahwa Indonesia tak mampu mengadakan tes sendiri adalah penghinaan juga bahwa masyarakat Indonesia tampaknya memiliki kekebalan terhadap corona. Pola komunikasi pemerintah ini tidak memberikan edukasi tentang bahaya wabah corona, kemungkinan terjadinya di Indonesia dan langkah-langkah untuk menghadapinya. Pemerintah terus memberitakan kabar baik namun semu yang tidak berguna bagi upaya meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Pemerintah baru melakukan pemeriksaan serius setelah ada kasus di Depok yang diumumkan pada 2 Maret. Itu pun kasus ditemukan karena inisiatif pasien sendiri untuk memeriksakan diri dan menjalani test.

Kedua, komunikasi pemerintah tidak konsisten. Inkonsistensi pemerintah ini bisa dilihat dari anjuran terkait mudik. Di antara pemerintah sendiri terjadi perdebatan tentang boleh tidaknya mudik selama pandemic yang melibatkan 11 pernyataan yang berbeda dari 7 pejabat: Presiden, Jubir Covid, Jubir Presiden, Mensesneg, Kepala BNPB dan Menko Kemaritiman. Presiden mulanya memberi larangan mudik untuk menghindari penularan Corona yang diamini oleh Jubir Covid, Jubir Presiden, Mensesneg. Namun pernyataan itu kemudian direvisi oleh Jubir Presiden dan Menko Kemaritiman yang menyampaikan bahwa mudik diperbolehkan asal melakukan isolasi. Presiden pun meralat pernyataan sendiri dengan memperbolehkan mudik lebaran. Namun, kemudian Presiden mengatakan bahwa mudik dilarang namun pulang kampung diperbolehkan. Menurut Presiden kedua hal itu berbeda. Ironisnya, pernyataan ini kemudian diralat oleh menteri perhubungan yang mengatakan bahwa mudik dan pulang kampung sama saja dan keduanya diperbolehkan namun dalam jumlah terbatas.

Ketiga, komunikasi pemerintah kurang jernih. Salah satu syarat agar pesan bisa dipahami adalah kejernihan yang bisa diupayakan dengan menyampaikan pesan sesederhana mungkin sehingga pahami oleh semua lapisan masyarakat dari yang pendidikannya paling tinggi hingga pendidikannya paling rendah. Namun sayangnya pesan pemerintah tidak jernih dan sulit dipahami. Inkonsistensi pesan sebagaimana diungkap di atas berkontribusi pada kekurangjernihan ini. Selain itu, ketidakjernihan juga muncul dari pilihan bahasa yang dipakai pemerintah yang banyak mnggunakan bahasa asing yang mungkin mudah dipahami oleh kelas menengah perkotaan namun tidak oleh kelas bawah terutama yang tinggal di desa-desa seperti social distancing yang lalu berubah menjadi physical distancing, lock down, stay at home dan sebagainya.

Keempat, informasi pemerintah kurang akurat. Terdapat perbedaan antara data yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah sendiri mengungkapkan bahwa data yang ditampilkan bukan data sebenarnya. Salah satu alasannya adalah terbatasnya kapasitas pengetesan di setiap harinya.

Kelima, kurang transparan. Sejak awal pemerintah tampak menutup-nutupi informasi tentang corona baik kedatangannya maupun peningkatan jumlah pasiennya. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah untuk menghindari kepanikan publik namun yang terjadi justru sebaliknya. Tidak adanya transparansi justru melahirkan kepanikan dan turunnya kepercayaan publik.

"Jadi ada 4 faktor yang menyebabkan komunikasi tidak efektif itu:  Tidak ada kemimpinan, Terlalu banyak aktor/tidak satu pintu,  Buruk koordinasi, dan Tidak ada prioritas yang jelas," tutupnya.

(Hadi Siswo)
Gus Dur, Ismid Hadad dan LP3ES
Gus Dur, Ismid Hadad dan LP3ES
Foto Penampakan Kuntilanak di Rumah Sakit
Foto Penampakan Kuntilanak di Rumah Sakit