Jakarta, MERDEKANEWS - Defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan hingga pertengahan kuartal II 2018, terus melebar. Meski demikian, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara menjamin ekonomi Indonesia masih aman. Tidak akan terlalu panas alias overheating.
Mirza di Jakarta, Selasa (3/7/2018), mengatakan, meningkatnya impor pada Mei 2018, dipicu kebutuhan pembangunan untuk ekonomi jangka panjang. Dia mengakui, defisit neraca perdagangan pada Mei 2018, sebesar US$1,52 miliar, berpeluang memperlebar defisit transaksi berjalan yang diperkirakan bakal di atas 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, angka ini masih di bawah 3% dari PDB di kuartal II-2018. Sepanjang Januari-Mei 2018, defisit neraca perdagangan sebesar US$2,38 miliar. Sepanjang Januari-Mei 2018, masih kata Mirza, terdapat impor untuk kebutuhan ekonomi jangka panjang, antara lain impor untuk pembangunan infrastruktur senilai US$4 miliar. Dan, impor pertahanan sebesar US$1,1 miliar, serta beras US$400 juta. "Jadi sebenarnya neraca perdagangan Januari-Mei-lah yang defisit, kalau dikeluarkan impor infrastruktur di mana untuk pembangunan jangka panjang, neraca perdagangan indonesia itu surplus," ujar Mirza.
Mirza mengatakan, dengan asumsi itulah, meskipun defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan meningkat, ekonomi Indonesia belum overheating.
Selain itu, jika melihat indikator lain, seperti pertumbuhan kredit perbankan yang hanya naik 10,2% (year-on-year/yoy) per Mei 2018 dan 2,9%-3% (ytd), ekonomi Indonesia masih dalam proses pemulihan, bukan proses yang menunjukkan agresivitas pertumbuhan. "Kondisi ini berbeda dengan semester I 2013, saat itu impor tinggi, pertumbuhan kredit tinggi di atas 20 persen, harga properti juga tinggi. Jadi situasi semester I 2013 mungkin ekonomi yang sedang `overheat`. Tapi sekarang tidak," kata Mirza.
Bank Sentral memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh 5,2% (yoy). Dengan melebarnya defisit neraca perdagangan, Mirza memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan kuartal II di atas 2,5% PDB, tapi tidak melebihi tiga persen PDB. Defisit transaksi berjalan pada kuartal pertama tahun ini sebesar 2,15% dari PDB.
(Setyaki Purnomo)