
Jakarta, MERDEKANEWS -- Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte ditangkap polisi di bandara internasional Ninoy Aquino, Manila pada Selasa (11/03). Ia ditangkap usai perjalanan dari Hong Kong dan langsung ditahan.
Sebuah video yang diunggah oleh putrinya Veronica Duterte memperlihatkan pria berusia 77 tahun itu ditahan di sebuah ruang tunggu di Pangkalan Udara Villamor, Manila.
Dalam video itu, Duterte terdengar mempertanyakan alasan penangkapan dirinya. “Apa hukumnya dan kejahatan apa yang telah saya lakukan? Saya dibawa ke sini bukan atas kemauan saya sendiri, melainkan atas kemauan orang lain. Anda harus bertanggung jawab sekarang atas perampasan kebebasan,” ujarnya.
Rekaman yang ditayangkan stasiun televisi setempat menunjukkan dia berjalan di bandara menggunakan tongkat. Seperti dikutip dari bbcindonesia, pihak berwenang mengatakan Duterte dalam “kesehatan yang baik” dan dirawat oleh dokter pemerintah.
Mantan juru bicara kepresidenan Duterte, Salvador Panelo, mengecam penangkapan tersebut. Dia mengeklaim penangkapan Duterte “melanggar hukum” karena Filipina telah menarik diri dari ICC.
Namun, ICC sebelumnya mengatakan bahwa mereka memiliki yurisdiksi di Filipina atas dugaan kejahatan yang dilakukan sebelum Filipina menarik diri sebagai anggota.
Di sisi lain, Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina menyebut penangkapan Duterte sebagai “momen bersejarah”. “Jalannya moralitas itu panjang, tetapi hari ini, jalannya telah mengarah ke keadilan. Penangkapan Duterte adalah awal dari akuntabilitas atas pembunuhan massal yang menandai pemerintahannya yang brutal,” kata Ketua ICHRP, Peter Murphy.
Duterte ditangkap atas perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kebijakan perang melawan narkoba yang menewaskan ribuan orang selama bertahun-tahun.
Duterte menolak meminta maaf atas tindakan keras antinarkoba yang brutal saat ia menjabat sebagai presiden Filipina pada 2016 hingga 2022. Tindakan tersebut mengakibatkan ribuan orang tewas.
ICC pertama kali mencatat dugaan pelanggaran tersebut pada 2016 dan memulai penyelidikan pada 2021. Penyelidikan tersebut mencakup kasus-kasus dari November 2011, saat Duterte menjabat sebagai wali kota Davao, hingga Maret 2019, sebelum Filipina menarik diri dari ICC.
Rodrigo “Digong” Duterte resmi memimpin Filipina pada Juni 2016. Dia dulu berkampanye akan secara keras memberantas narkoba dan berbagai bentuk kejahatan.
“Hitler membantai tiga juta orang Yahudi. Sekarang ada tiga juta pecandu narkoba (di Filipina). Saya akan dengan senang hati membantai mereka,” katanya beberapa bulan setelah menjabat.
Kebijakannya yang disebut “perang melawan narkoba” telah menyebabkan ribuan tersangka pecandu dan pengedar narkoba tewas dalam operasi polisi yang kontroversial.
Ribuan orang lainnya ditembak mati oleh orang-orang bersenjata bertopeng tak dikenal, yang sering disebut oleh media Filipina sebagai vigilante alias orang-orang yang bertindak tanpa basis hukum.
Jumlah resmi tersangka pengedar dan pengguna narkoba yang terbunuh selama Juli 2016 dan April 2022 adalah 6.248 orang. Banyak kelompok HAM percaya jumlah sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang.
(Jyg)