Yogyakarta, MERDEKANEWS - Kementerian Perdagangan ancang-ancang menarik bea untuk impor pangan. Khususnya gula, tembakau, kedelai, jagung, beras, gandum, serta bawang putih. Tujuannya untuk mengerek produktivitas serta kesejahteraan petani lokal.
"Pungutan itu mau satu rupiah mau dua rupiah nantinya dialokasikan untuk membantu petani," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementertian Perdagangan, Oke Nurwan di Auditorium Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (26/4/2018).
Menurut Oke, meski baru sekadar usulan, ide penerapan pungutan itu saat ini telah dikaji bersama dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Pungutan itu rencananya hanya dikhususkan untuk komoditas-komoditas yang ketergantungan impornya tinggi seperti gula, tembakau, kedelai, jagung, beras, gandum, bawang putih.
"Pak Menteri (Enggartiasto) sudah mengusulkan agar dapat dibahas antarkementerian," kata dia seusai berbicara dalam seminar nasional bertajuk "Kajian Komprehensif Sistem Pergulaan Menuju Ketahanan dan Kemandirian Industri Gula Nasional" itu.
Dengan adanya alokasi dana khusus untuk petani yang dihimpun dari pungutan impor komoditas pangan, ia berharap tidak ada lagi polemik mengenai impor yang kerap kali dianggap sebagai ancaman yang mengganggu kesejahteraan petani.
"Ini baru sekadar usulan atau ide, yang jelas selama ini selalu muncul hiruk pikuk antara impor dan kesejahteraan petani. Kalau memang ketergantungan (impor) itu tidak bisa dihindari dan ada keterbatasan pemerintah atau swasta untuk investasi ya kenapa tidak dipungut saja," kata dia.
Menurut dia, dana dari pungutan impor itu dapat dialokasikan untuk berbagai insentif pendukung pertanian seperti untuk mekanisasi pertanian, pembelian bibit, atau untuk mendukung kebutuhan pertanian lainnya.
Gagasan itu, kata dia, sebetulnya mencontoh dari mekanisme pungutan ekspor produk sawit yang penghimpunan dananya dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). "Kami belum tahu apakah nantinya regulasinya bisa berupa peraturan pemerintah (PP) atau yang lainnya," kata Oke Nurwan.
(Hasan Sumantri)