Jakarta, MERDEKANEWS - Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 – 8 persen di era presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto pasti tidak mudah, bahkan mustahil jika tidak ada strategi kebijakan yang optimal.
Hal tersebut diugkapkan Rektor Universitas Paramadina Prof Didik Junaidi Rachbini dalam diskusi bertajuk 'Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8 Persen tanpa Industrialisasi)' di Jakarta, Minggu (22/9/24).
"Indonesia harus menjalankan kebijakan outward looking yang targetnya adalah bersaing di pasar internasional dengan meningkatkan produktivitas dan berlevel global, bukan hanya pasar lokal. Targetnya semua negara maju dan negara berkembang yang sekarang telah lepas dari middle income trap. Salah satu contohnya adalah Malaysia" kata Didik.
Ekonom senior Indef ini mengungkapkan, kondisi saat ini dibandingkan dengan era 80 an tentu berbeda. Proteksi di masing-masing negara menguat, namun bukan tidak mungkin di Asia Barat atau Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika merupakan pasar-pasar baru yang bisa dijadikan target pasar.
Ada 7 langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintahan Prabowo yang jika tidak dilakukan akan menyulitkan target pertumbuhan ekonomi.
Pertama, Stabilitas Makro. Meliputi fiskal yang sekarang utang naik dengan besar sekali, dan harus dicari cara jika utang banyak maka income tax rationya harus naik.
"Jika mencicil dan menghabiskan 50% dari income kita, lalu pendapatan kita dinaikkan dua kali lipat, maka cicilan yang 50% hanya tinggal 50% sehingga ketergantungan pada utang menghilang. Inflasi exchange rate atau nilai tukar dan sukubunga. Sementara Bank Indonesia saat ini hanya diam saja tidak punya beban kerja berat, akibat enak saja mematok suku bunga yang tinggi dan hanya berfokus pada stabilitas pada sektor moneter saja" jelasnya.
Kedua, kata Didik, kebijakan perdagangan. Tidak bisa kebijakan kuota diseret-seret di parlemen. Untuk kebutuhan masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan perlindungan petani malah dikuotakan.
"Itu suatu hal yang berat. Dulu di era orba tentang trade policy, semua duta besar diberi tugas, yaitu Market Access. Jadi jika ekspor naik maka duta besar itu dianggap berprestasi" urainya.
Ketiga. Tarif, harus dinegosiasikan dengan pihak luar, Misalnya ekspor tekstil kita ke EROPA jika dibandingkan ke Vietnam, Amerika dan lainnya, kita kena pajak dua kali lipat. Insentif ekspor dengan suku bunga tinggi seperti sekarang akan sulit.
Keempat, lanjut Didik, identifikasi ekspor menuju industrialisasi juga harus dilakukan. Faisal Basri tidak setuju dengan hilirisasi karena istilah akademiknya adalah industrialisasi. Ada studi Eisha M Rachbini tentang kelapa sawit di mana turunannya bisa 80 an jenis produk. Malaysia sudah punya lebih 100 turunan produk kelapa sawit dan sekarang mereka sudah lepas dari middle income trap. Sudah masuk ke level industri maju.
Kelima, Upgrading skill, dan transfer teknologi mereka dilakukan dengan sungguh-sungguh. Rubber, nikel dan batubara harus dihilirisasikan ke dalam.
Keenam, Produk udang, rumput laut jika diindustrialisasikan bisa naik nilainya 4 -5 kali lipat. Harus ada upgrade teknologi, yang jika tidak bisa kita lakukan harus diimpor dari luar seperti perakitan otomotif.
"Ketujuh, Kesimpulan : Bank Dunia telah melakukan studi, bahwa ratusan negara terjebak dalam middle income trap. Solusinya, inklusi teknologi, development skill dan seterusnya" tandasnya.
(Viozzy)