Jakarta, MERDEKANEWS - Kementerian ESDM mengakui pengelolaan energi masih ada ketimpangan. Namun semuanya teratasi dengan skema gross split yang menggantikan cost recovery.
Menurut wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, skema gross split adalah jawaban dari tantangan di sektor migas. Saat ini, rata-rata perusahaan migas di Indonesia baru bisa menghasilkan minyak sekitar 15 tahun sejak discovery. "Gross split akan dirasakan bukan saat ini, tapi dalam jangka waktu panjang," kata Arcandra di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Arcandra mengklaim, prinsip dasar gross split ini lebih memberikan kepastian (certainty) dengan parameter insentif yang jelas, menyesuaikan dengan karakter lapangan migas. Selain itu, kata mantan menteri ESDM 20 hari ini, skema gross split akan mendorong bisnis hulu migas menjadi lebih sederhana (simplicity). Dengan begitu, aktivitas industri migas akan lebih efisien (effeciency).
Bukti nyata perubahan penawaran WK Migas dengan skema gross split sudah terlihat pada 2017, di mana dari 10 WK Migas Konvensional yang ditawarkan, sebanyak 5 WK yang laku. Apabila dibandingkan dengan 2016 yang menggunakan sistem cost recovery, dari 14 WK yang dilelang, tidak ada satupun WK yang laku diminati para investor.
Pemerintah juga akan melakukan langkah revitalisasi kilang minyak (Refinery Development Master Plan/RDMP) di Balikapapan, Cilacap, Dumai dan Balongan. Tak hanya itu, Pemerintah akan segera membangun kilang baru (Grass Root Refinery/GRR) di Tuban dan Bontang. "Dengan revitalisasi dan kilang baru, kapasitas kilang dalam negeri menjadi 2 juta Barrel Per Day (BPD) di tahun 2025," ujar Arcandra.
Candra, sapaan akrabnya, mengatakan, aspek penting yang disiapkan pemerintah, adalah birokrat yang cakap. Terutama dalam bernegosiasi. "Dari dulu kami tidak pernah menyiapkan birokrat yang handal saat bernegosiasi, sehingga kerap kali merugikan kita," kata dia.
(Hasan Khusaeri)