
Jakarta, MERDEKANEWS - Pernyataan Greenomics Indonesia tentang adanya pelepasan lahan hutan seluas 2,4 juta hektar kepada sekelompok pengusaha di era SBY, diragukan validitas datanya. Bisa jadi pernyataan tersebut hanya fitnah alias hoax.
“Sepertinya, masih banyak LSM di Indonesia tidak bisa membedakan antara kawasan hutan dengan kawasan perkebunan yang memanfaatkan Hutan Produksi Konservasi (HPK) yang bukan diperuntukan sebagai kawasan hutan,” kata pengamat hukum kehutanan, DR Sadino di Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Pandangan Sadino ini jelas-jelas berkaitan dengan pernyataan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi pada Kamis (22/3/2018). Kata Vanda, berdasarkan studi Greenomics Indonesia selama 2004-2017, kawasan hutan yang dilepas untuk izin perkebunan kepada pelaku bisnis tertentu, luasnya mencapai 2,4 juta hektar, atau lebih dari 36 kali luas DKI Jakarta.
Dari luasan lahan tersebut, masih menurut data Greenomics Indonesia, sebanyak 90% dari merupakan izin-izin ekspansi perkebunan sawit yang diberikan kepada para pelaku bisnis. "Lebih dari 2,2 juta hektare atau lebih dari 91 persen atau setara lebih dari 33 kali lipat luas DKI Jakarta, izin-izin perkebunan tersebut diberikan pada periode Presiden SBY. Sedangkan, izin-izin perkebunan yang diberikan pada era Presiden Joko Widodo, seluas lebih dari 200 ribu hektar. Atau di bawah 9 persen," jelas Vanda.
Melanjutkan keterangan, Sadino mengatakan, selain tidak memiliki peruntukan sebagai kawasan hutan, HPK merupakan kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
“LSM perlu memahami regulasinya terlebih terlebih dahulu sebelum memberi pernyataan agar tidak keliru. Legal basis pemberian izin bagi perkebunan adalah HPK yang memang tidak diperuntukan sebagai kawasan hutan,” jelas Sadino.
Sadino mengatakan, pelepasan kawasan non hutan untuk perkebunan pada saat itu dimungkinkan karena izinnya memang dibuka. ”Tidak ada yang salah dengan regulasi tersebut," kata Sadino
Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Prof Budi Mulyanto. Dia bilang, areal penggunaan lain (APL) adalah areal bukan kawasan hutan. APL bisa dimanfaatkan untuk beragam kepentingan, tergantung kebutuhan dan usulan tata ruang. “Begitu juga penggunaan APL untuk perkebunan bisa dilakukan melalui proses perizinan yang selektif," kata Budi.
Hanya saja, Budi meragukan studi Greenomics terkait pelepasan kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar untuk izin perkebunan. “Data kuantitatif terkait angka pelepasan kawasan perlu diklarifikasi. Apakah data itu punya rujukan spasial dan lokasi. Sebaiknya perlu data yang clear and clean sebelum publikasi. Data yang tidak akurat rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu,” kata mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria pada Kementerian ATR/BPN.
Budi memastikan, pelepasan kawasan hutan bukan keputusan satu pihak. Hal Ini perlu dipahami agar jangan terkesan bahwa pelepasan kawasan merupakan keputusan sepihak dari Menteri Kehutanan. Banyak insitusi pemerintah terlibat terkait dalam pelepasan kawasan karena masalah itu terkait erat dengan kebutuhan tata ruang.
Menurut Budi, pelepasan kawasan wajib meminta persetujuan Menteri Kehutanan karena lebih dari 2/3 kawasan daratan Indonesia berada di bawah kementerian kehutanan.
(setyaki purnomo)