Pemolisian di Era Digital
Pemolisian di Era Digital
Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

Lembah Someah, MERDEKANEWS -- Di era digital seakan media menjadi arena baru pada dunia virtual yang menjadi disrupsi. Tatkala tidak siap bermedia maka dalam memanfaatkan media berdampak pada COI (Conflick of Interest). 

Memberdayakan media yang semestinya mendukung produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup bisa-bisa menjadi sesuatu yang kontra produktif. Apalagi ini di era post truth, media seakan menjadi market place yang dapat digunakan sebagai ajang untuk mempengaruhi bahkan membangun opini publik melalui berita hoax yang memviralkan pembenaran agar dianggap sebagai kebenaran. Saling hujat saling serang seakan dunia virtual tidak membutuhkan keteraturan. Netizen pun semestinya dibangun bagi kemajuan suatu peradaban.

Rekayasa sosial dalam ranah virtual secara by design dapat digunakan dalam kepentingan apa saja. Boleh dikatakan kaum milenial paham dan menggunakan media sosial. Apa yang di sampaikan bisa langsung di share ke berbagai penjuru dunia atau secara global dalam hitungan detik. Dunia tanpa batas ruang dan waktu. Apa saja kapan saja dan siapa saja bisa. 

Media menjadi power on hand yang dapat membantu atau sebaliknya dalam berbagai aktivitas manusia dalam berbagai gatra kehidupan. Idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, hukum, pertahanan. Berbagai isu mudah dan cepat dihembuskan. Media sosial banyak menggeser tatanan kehidupan dari cara konvensional bergeser ke arah yang kekinian. Tatkala konten yang didesign untuk kepentingan tertentu atau kelompok tertentu maka akan menjadi potensi konflik dan kontra produktif. 

Pilar dengan berbagai sendi kehidupan sebagai simbol kedaulatan dan peradaban bangsa dapat digerus. Sehingga, sumber daya utama dan penting bagi kedaulatan dan daya tahan bangsa dapat diganggu hingga diambil alih.  

Oleh sebab itu di dalam memanage media setidaknya dilakukan untuk:

1. Memberitakan yang baik dan benar

2. Sesuai dengan fakta tidak mengada ada dan tidak direkayasa 

3. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM

4. Berpihak pada kemanusiaan supremasi hukum transparan akuntabel, informatif komunikatif dan mudah diakses

5. Menginspirasi, memotivasi dan memberi solusi serta mengedukasi

6. Membuat counter issue secara akademis dan yuridis atas sesuatu yang menjadi dampak era post truth terutama yang berkaitan dengan hoax

7. Menghibur, fun dan tetap pada norma norma etika dan moralitas dan sebagainya.

Di era digital, dunia virtual semakin marak faktanya banyak hal negatif yang dapat menghambat merusak hingga mematikan produktivitas. Pembunuhan karakter hingga mengganggu hidup kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan. Berita hoax pembodohan penyesatanpun secara virtual banyak menjadi pilihan. Memang ada yang marah merasa dikungkung atau dibungkam atau banyak hal yang menuntut kebebasan sebebas bebasnya. Hujat menghujat dengan kalimat tidak sepatutnyapun seakan menjadi pameran ketololan dan sikap pengecut. 

Netizen +62 dilabel paling buruk tatakramanya. Entah itu refleksi budaya atau oknum yang tak lagi bisa menghargai orang lain. Sikap budaya bangsa yang adiluhung seakan luntur akibat evoria dunia maya. Tatkala diminta pertanggungjawaban kembali air mata maaf bahkan sikap minta dikasihani memelas yang ditampilkan. Ujaran kebencian menghakimi luar biasa memalukan kata-katanya. Seakan memang otak dan hatinya lupa segala edukasinya. 

Kritik disamakan dengan hujatan. Tabiat buruk seakan menjadi moralitas. Provokasi pembodohan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kalau menampilkan hujatan seakan juara jagoan dan merasa pahlawan. Menyedihkan. Dalam kehidupan sosial di era digital maka keteraturan sosial di dunia virtual memang diperlukan tatanan dan pertanggungjawaban. Mau tidak mau tatkala segala sesuatu yang berdampak pada konflik dan berbagai hal yang kontrta produktif menjadi tanggung jawab kita semua mengatasinya. 

Konteks demokrasi menjadi acuan bebas bertanggungjawab, jaminan perlindungan HAM, supremasi hukum, transparan dan akuntabilitas orientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Menjaga kedaulatan bangsa dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi landasan ketahanan dan daya tangkal bahkan daya saing. Kritis atas penyimpangan atau ketidak benaran merupakan suatu kecerdasan keberanian bahkan juga wujud tanggung jawab moral. Keras dalam prinsip dan penyampaian secara elegan akan mengundang simpatik dan solidaritas. 

Kekerasan simbolik ujaran kebencian pembodohan hingga pengadilan sosial bukan sesuatu yang spontan melainkan by design. Era post truth antara fakta dan kebobongan diolah sedemikian lupa pembenaran seolah menjadi kebenaran. Dan dilakukan orang-orang cerdik pandai yang terus menerus diviralkan hingga seolah menjadi kebenaran. 

Bumbu-bumbu hoax dengan primordialisme menjadi penyedap. Keteraturan sosial dalam dunia virtual belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang kontra produktif. Namun sebenarnya tanpa sadar taburan-taburannya sudah dapat merasuki bahkan mencandui pikiran hingga emosi publik. Dunia virtual jembatan harapan dalam era digital. Hal yang positif tentu banyak sekali dan mendukung pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Namun hal-hal yang kontra produktif dan menjadi potensi rusaknya karakter bahkan kedaulatan bangsa apakah dimaklumi dan dianggap biasa biasa saja?

Media sosial menjadi arena di era digital. Media sosial sekarang ini begitu marak, mampu menggusur keberadaan media-media konvensional. Media sosial menjadi ruang yang terbuka atau menjadi arena apa saja yang diberdayakan menjadi wadah berbagai kepentingan. Fungsi media sosial antara lain :

1. Media informasi

2. Media komunikasi

3. Media sosialisasi

4. Media edukasi

5. Media kepentingan politik

6. Media untuk labeling 

7. Media bisnis

8. Media penggalangan solidaritas

9. Media penghakiman sosial

10. Media membangun jejaring sosial

11. Media laboratorium sosial

12. Media colling system

Dan masih banyak fungsi media sosial lainnya. 

Efek media sosial di era digital antara lain adanya post truth yang  berdampak negatif yang mampu mempengaruhi persepsi dan interpretasi publik. Di era post truth banyak kebenaran dikalahkan oleh pembenaran yang disebarkan melalui media sosial. Berbagai hal dapat di design, dikemas sedemikian rupa mengelaborasi antara fakta dan kebohongan yang diviralkan terus menerus sampai yang membuatnyapun merasa itu sebagai kebenaran. 

Warga net sekarang ini lebih berani namun juga lebih mudah diobok-obok opininya. Suasana di media sosial bisa saja panas walau suasana dalam fenomena sebenarnya adem-adem saja. Komunikasi dalam media sosial mampu menggerus logika menghanyutkan dalam opini maupun pembenaran yang mereka taburkan dalam berbagai wujud informasi yang provokatif. Pada masa lampau dengan kebijakan 3 in 1 muncul joki, era media sosial, muncul buzer, menjadi pasukan bayaran untuk saling serang dan menjatuhkan.  

Perang opini dalam media ini tidak lagi mencerdaskan akan terus saling menabur isu hingga melabel yang tujuannya kebencian. Konflik antar buzer ini menjadi arena baru yang dilontarkan dengan kata-kata kasar bahkan ucapan yang amoral yang selayaknya disampaikan dalam komunikasi publikpun bisa di sampaikanpun dengan tanpa rasa malu maupun bersalah. 

Netizen Indonesia dinilai oleh beberapa pengamat media sosial sebagai netizen yang paling buruk dalam berkomunikasi. Tiada lagi tata krama sopan santun. Walaupun ada UUITE dan sudah banyak yang ditindak tegas dan diberi sanksi hukum tetap saja banyak yang terus saja mengeluarkan kata-kata kasarnya. Seakan akan senang dan bangga memamerkan kedunguannya. Sebentar  marah dan bila tertangkap, menangis merengek rengek untuk meminta maaf.

Media sosial merajai sistem informasi dan komunikasi dari perorangan sampai berkelompok mereka memiliki suatu tatanan baru. Dalam dunia yang serba on line dari iklan sd penjualan bahkan penolakan bisa dilakukan.

Aktivitas netizen menjadi suatu pola baru tatkala dapat dipetakan atau dipolakan dalam berbagai algoritma menunjukan sebagai arena sumberdaya. Sistem kajian media sosial semakin berkembang semakin menjadi salah satu pilihan komunikasi informasi dengan berbagai strategi untuk kepentingan pengeksploitasian sumber daya. 

Perebutan dalam pemberdayaan sumberdaya dari berbagai kepentiangan tersebut tatkala dikategorikan antara lain memanfaatkan :

1. Primordialisme sebagai pemersatu maupun pemecah belah. 

2. Menggunakan hobby dan kesukaan untuk membuka pintu masuk jembatan komunikasi dan membangun solidaritas sosial maupun legitimasinya

3. Profesi pekerjaan untuk membuka pasar virtual dengan memanfaatkan viewer dan follower

4. Melihat dan mempengaruhi opini/pendapat publik melalui berbagai survey/kajian

5. Memberikan counter issue maupun hiburan dan sebagainya.

Fungsionalisasi media sosial begitu luas, tentu akan berdampak pada perilaku netizen dengan peradaban barunya. Berbagai informasi komunikasi dapat dijembatani secara cepat yang mampu menembus batas ruang dan waktu tatkala ada kekuatan yang seimbang atau lebih kuat untuk mempengaruhinya. Tatkala tidak ada yang dominan atau menjadi acuan atau dasar kebenaran maka informasi dan berita hoax tidak terkendali yang berdampak luas. 

Media sosial bisa digunakan untuk merontokkan atau menyerang dengan berbagai kepentingan. Di sinilah fungsi intelejen media akan menjadi bagian penting untuk menata atau menjaga keteraturan sosial pada warga net. Prinsip kinerja intelejen dari : pengumpulan data, analisa, produk dan networking ini dapat dilakukan dengan memberdayakan media sosial sebagai arena atau bahkan laboratorium sosial. 

Dalam kehidupan masyarakat boleh dikatakan sebagian telah ada dalam media sosial. Dari pemetaan pembuatan pola-polanya dan pengumpulan data maka akan dapat dihubung-hubungkan. Dapat dianalisa untuk menghasilkan algoritma yang berupa info grafis, info statistik, maupun info virtual lainnya. Algoritma tadi dapat digunakan sebagai fooding atau model untuk memprediksi mengantisipasi dan memberi solusi. 

Intelejen media akan membantu menjembatani untuk membangun cooling system yang akan terus berkembang secara variatif. Fungsi media sosial secara positif akan mendukung upaya mencerdaskan kehidupan berbagsa dan bernegara demikian juga sebaliknya. 

Keteraturan sosial dalam dunia virtual menjadi kewajiban warga net untuk mematuhinya agar tidak hanyut dan terprovokasi informasi informasi hoax. Selain itu juga bagi dengan adanya aturan hukum maka penegakkan hukum terhadap warga net yang dengan sengaja memperkeruh atau mengganggu keteraturan sosial dapat ditegakan.

Keamanan dan rasa aman merupakan dasar bagi suatu masyarakat untuk dapat hidup tumbuh dan berkembang. Bisa dibayangkan apa yang akan dihasilkan bila tidak ada keamanan dan rasa aman. Tentu akan sarat ketakutan, kekawatiran bahkan gangguan nyatapun merebak dan menjadi pemandangan biasa. 

Keamanan dan rasa aman inilah yang menjadi standar bagi suatu peradaban. Mengamankan mungkin semua pihak dapat mengklaim mampu mengamankan, namun memberikan rasa aman ini yang boleh di katakan perlu kerja dengan o2h (otak otot dan hati nurani). Itulah mengapa polisi perlu ada. 

Polisi bekerja pada ranah birokrasi dan ranah masyarakat melalui pemolisian. Di sinilah pemolisian dinamikanya yang terus berkembang seiring dengan kemajuan dan perubahan jaman. Dengan harapan keberadaan polisi di dalam masyarakat yang modern dan demokratis di era digital, dinamis dan mampu memberikan jaminan keamanan dan rasa aman bagi masyarakat. 

Polisi dan pemolisianya di era digital dalam masyarakat yang modern dan demokratis dapat dikatakan democratic policing. Di dalam implementasinya perlu merubah mind set dan culture set serta diperulakan usaha dan upaya luar biasa yang konsisten dan berkesinambungan. 

Permasalahan yang dihadapi polisipun semakin kompleks dan ancaman gangguanpun akan terus meningkat. Di era digital sekarang ini cara-cara parsial, konvensional dan manual boleh dikatakan menjadi sarang terjadinya berbagai penyimpangan atau dalam pelayananya dapat dipastikan jauh dari standar pelayanan prima. 

Pemolisian di era digital diperlukan adanya sistem pemolisian yang berbasis IT atau yang dikenal dengan electronic policing (e policing). 

E policing merupakan model pemolisian berbasis pada IT yang diimplementasikan melalui :  back office sebagai pusat K3I, aplication dan network. Sistem-sistem tersebut merupakan sistem terpadu dan terintegrasi yang berbasis data dan mampu memberikan pelayan prima dalam model one stop service. Dengan demikian pelayanan publik di bidang: keamanan, keselamatan, administrasi, hukum, informasi dan keamanan dapat diimplementasikan secara tepat, akurat, transparan, akuntabel dan mudah diakses memenuhi standar pelayanan yang prima.

Bagi Polri (kepolisian negara Republik Indonesia) dengan kebijakan promoter (profesional, modern dan terpercaya) konsep polisi dan pemolisian di era digital sudah saatnya diimplementasikan di berbagai lini.

Polri sebagai institusi besar di dalam mereformasi birokrasi telah melakukan banyak hal dan prestasi dalam memberikan jaminan keamanan dan rasa aman. Perilaku para oknum yang sengaja atau karena kelalaian maupun kurang profesional tidak boleh diabaikan dan perlu perbaikan, peningkatan kualitas dan pembangunan secara tangible maupun yang untangible. 

Memberikan jaminan keamanan dan rasa aman merupakan pekerjaan berat untuk mampu mengangkat harkat martabat manusia dan untuk semakin manusiawinya manusia. Di sinilah tugas polisi dapat menunjukan sebagai : penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan sekaligus pejuang kemanusiaan. Kesemuanya itu benang merahnya adalah terjaminya keamanan dan rasa aman shg trs meningkatnya kualitas hidup. 

Penulis

Cdl

Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.

(Viozzy)
Pencegahan Kejahatan 
Pencegahan Kejahatan 
Model Pemikiran Teknologi Kepolisian
Model Pemikiran Teknologi Kepolisian
Apa yang Harus Dilakukan Polisi dalam Menangani Lalu Lintas?
Apa yang Harus Dilakukan Polisi dalam Menangani Lalu Lintas?
Pemimpin: Guru Sang Pencerah
Pemimpin: Guru Sang Pencerah
Manajemen Media Menjadi Fungsi Utama dalam Pemolisian di Era Digital
Manajemen Media Menjadi Fungsi Utama dalam Pemolisian di Era Digital