Jakarta, MERDEKANEWS -- Mengutip Amartya Sen, human dignity atau martabat manusia menempatkan posisi seseorang sebagai subyek dimana pembangunan tidak akan mendapatkan kemuliaan jika kebijakan pembangunan tidak mencapai human dignity.
Hal ini disampaikan Amich Alhumami, Ph.D. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Bappenas dalam diskusi yang diselenggarakan secara hibrid oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) dengan tema “Kualitas Hidup dan Pembangunan Berkeadilan” Senin (12/2/2024).
Diskusi ini merupakan rangkaian dari acara bedah buku berjudul “Konsep Kualitas Hidup dalam Kerangka Kapabilitas” yang ditulis oleh Dr. Sunaryo dan Pipip A. Rifa'i Hasan, Ph.D. dan dimoderatori oleh Dr. Iin Mayasari.
Diskusi berlangsung secara hibrid di Auditorium Firmanzah Universitas dan dimoderatori oleh Dr. Iin Mayasari, M.Si.
Amich menilai bahwa dari akhir dekade 80-an dan awal 90-an, ada 2 (dua) buku yang berpengaruh yaitu Mitos-Mitos Pembangunan dan Martabat Manusia. “Ekonom lama hanya melihat bahwa orang yang miskin karena tidak bekerja tetapi Amartya Sen mengatakan bahwa seseorang akan mengalami kemiskinan jika tidak menjalani secara struktural. Maka sudah seharusnya pembangunan dijadikan sebagai sebuah ide mengenai kebebasan.” Ujarnya.
Menurut Amich, Soedjatmoko juga menulis mengenai kebebasan dengan judul Dimensi Manusia dalam Pembangunan dan beberapa judul buku lainnya.
“Jika dikaitkan dengan buku tersebut, maka negara harus memenuhi tiga kebutuhan warga negara, dimana negara harus bisa memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi setiap warga negara untuk mendapatkan kehidupan cukup dan layak, mendapatkan layanan pendidikan dengan itu dapat masuk pasar kerja, serta harus memastikan bahwa status izinnya baik dan terjamin dari sisi kesehatan.” Tegas Amich.
“Posisi Amartya Sen sebagai ahli ekonomi, tetapi kalau kita membaca karya beliau apakah membaca wajah sosiologi atau wajah ekonomi? Jadi sebenarnya Amartya Sen seorang ekonom atau antropolog? Karena yang dilihat dalam konsep dignity ini merupakan gabungan filsafat sosial, antropolog dan ekonomi” Ungkap Amich.
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri guru besar Universitas Paramadina sebagai ekonom yang berfokus pada makro menyatakan bahwa pada awalnya menyangka tulisan Amartya Sen memiliki fokus pada ekonomi mikro. “Kemudian mengutip physical quality life index yang dianggap terlalu makro, maka tidak menggambarkan perkembangan individu” kata Didin.
Didin melihat Gross Domestic Product (GDP) menjadi ukuran negara berkembang, pecahnya Pakistan dan Bangladesh menjadi contoh negara yang gagal dengan untuk itu.
Dalam paparannya Didin menyebutkan mengenai kategori kebahagiaan sebagai sebuah ukuran yang di konseptualisasikan pada tahun 2015 dengan mengeluarkan index kebahagiaan ala Bhutan.
“Sampai hari ini masih belum ada kepastian mengenai index kebahagiaan ala Bhutan ini akan diadopsi oleh PBB sehingga kedepannya akan dijadikan pembanding.” Kata Didin.
“Kapabilitas orang per orang harus dikaitkan dengan ekonomi politik. Jika dikaitkan dengan kejadian sekarang ini, maka kapabilitas harus dikaitkan dengan moral, etik dan demokrasi” pungkas Didin.
(Viozzy)