
Jakarta, MERDEKANEWS - Ancaman pornografi terhadap siswa SD makin mengkhawatirkan. Ada 97 persen yang diduga sudah melakukan ejakulasi dini.
Indonesia masuk darurat pornografi. Hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengejutkan.
Terungkap 97 persen dari 1.600 anak kelas 3 sampai 6 SD telah terpapar pornografi. Survei ini dilakukan di delapan provinsi seluruh Indonesia.
Data dari Menkominfo menyebutkan, saat ini ada sekitar 30 juta konten porno yang beredar di internet. Dari jumlah tersebut Menkominfo baru bisa menutup sekitar 1-2 juta konten porno.
Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Valentina Ginting menerangkan, terpaparnya anak dengan pornografi bisa karena sengaja atau tidak sengaja.
Apalagi, terpapar pornografi berisiko menyebabkan kecanduan. Hal ini disebabkan karena arus informasi digital yang begitu cepat.
“Anak dapat disebut teradiksi dengan pornografi apabila dia telah melakukan ejakulasi sebanyak 20 sampai 30 kali,” ujar Valentina di Jakarta, Jumat (16/3).
Menariknya, lanjut Valentina, anak mengenal pornografi paling banyak melalui smartphone. Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) anak kisaran usia 9-19 tahun yang telah menggunakan gawai mencapai angka 65,34 persen.
Kami juga bekerja sama dengan unit kepolisian, dan didapati data dari unit cybercrime polri terjaring 435.944 IP adress yang mencatat aktivitas upload dan download dalam akses pornografi anak,” pungkasnya.
Dirinya menyadari KPPPA tidak dapat bekerja sendiri dalam menangani anak darurat pornografi. Maka, ia pun meminta kementerian/lembaga terkait agar terus bekerja sama memberantas pornografi pada anak di Indonesia.
Main HP Sambil Mojok
Orangtua harus ekstra waspada kepada prilaku anak yang aneh. Jika sedang main gedget si anak harus diperhatikan.
Karena, berdasarkan survei biasa anak yang sedang asyik main gadget sambil mojok biasanya mempunyai prilaku aneh. Prilaku ini rawan akan akan terjadinya menonton film porno.
Gempuran informasi yang semakin tak terbendung dari perkembangan teknologi, ditambah mudahnya mengakses internet, membuat anak mudah terpapar hal yang belum seharusnya mereka terima. Salah satunya pornografi yang semakin merajalela saja di kalangan anak-anak.
Hal tersebut dipicu tidak ada batasan bagi anak mengakses internet lewat gadget yang digenggamnya. Selain itu, longgarnya pengawasan orangtua membuat anak semakin leluasa mengakses konten dewasa.
Anak yang sudah terpapar oleh pornografi perlu diberikan treatment agar tidak memengaruhi psikologinya. Namun, terkadang orangtua tidak menyadari bahwa buah hatinya sudah terpapar pornografi.
Meski demikian, biasanya anak yang sudah terpapar atau bahkan kecanduan konten dewasa pasti menunjukkan ciri khusus. Menurut Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Anak Dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan, biasanya anak yang suka menonton pornografi lebih suka 'mojok' di belakang.
"Kalau main komputer dia hadapkan layarnya ke tembok. Sebagai orangtua perlu curiga jika ada yang seperti ini," ujar Valentina saat diskusi media 'Kejahatan Seksual Anak Melalui Media Online' di Gedung KPPPA, Jakarta, Jumat 16 Maret 2018.
Ciri lain yang patut dicurigai adalah anak menjadi lebih pendiam. Jika biasanya dia ceria, dia berubah menjadi pendiam dan menyendiri. Ini kemungkinan karena ia merasa ada yang salah dalam hidupnya, namun ia tidak bisa mengungkapkannya.
Valentina menambahkan, saat dirinya bertemu dengan Stephen Balkam, seorang CEO dari Family Online Safety Institute, ia memberikan pesan bagaimana anak di era milenial ini tidak dicegah dari bermain gadget. Tapi, cobalah untuk memberikan gadget ketika usia anak sudah tepat.
"Saya setuju sekali dengan aturan bahwa anak ketika di sekolah, jika terjadi sesuatu, minta gurunya untuk menggunakan telepon sekolah," imbuh Valentina.
Kemudian, jika anak mengerjakan PR sebaiknya orangtua mendampingi dan menggunakan laptop di ruang keluarga sehingga bisa dipantau penggunaannya. Selain itu, orangtua juga didorong untuk sering berkomunikasi dengan anak sehingga anak merasa dihargai.
(Ira Safitri)