Jakarta, MERDEKANEWS - Ekonomi energi asal UGM, Fahmy Radhi menilai, keputusan pemerintah menetapkan harga jual batubara untuk pembangkit listrik di dalam negeri sebesar US$70 per ton cukup realistis.
"Harga batubara sebesar 70 dolar AS per ton itu menguntungkan kedua belah pihak yakni PT PLN dan pengusaha batubara," kata Fahmi di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Dampak positif lanjutan dari penetapan harga batubara sebesar US$70 per ton itu adalah rakyat tidak terbebani kenaikan tarif listrik hingga 2019.
Menurut Fahmy, dengan biaya produksi batubara, saat ini, sekitar US$35 per ton, maka pengusaha batubara masih meraup untung hingga 100% pada harga jual US$70 per ton. "Sedangkan bagi PLN, harga beli 70 dolar per ton, masih bisa menutupi biaya produksi listrik, sehingga tidak perlu menaikkan tarif listrik yang akan membebani rakyat sebagai konsumen," kata Fahmy.
Apalagi, lanjutnya, volume batubara yang diperuntukkan bagi PLTU tersebut hanya 25% dari produksi keseluruhan. Sisanya yang 75%, lanjutnya, produksi batubara nasional dialokasikan untuk ekspor dengan harga pasar. "Artinya, keputusan harga jual batubara 70 dolar AS tidak merugikan pengusaha batubara," ujar Fahmi.
Fahmy mengapresiasi Menteri ESDM Ignasius Jonan yang sudah mengambil keputusan terbaik melalui penetapan harga batubara untuk PLTU sebesar 70 dolar per ton. "Tidak mudah memutuskan harga keseimbangan yang tidak merugikan kedua belah pihak," katanya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan pada Jumat menandatangani Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Sesuai beleid baru tersebut, pemerintah menetapkan harga jual batubara untuk PLTU di dalam negeri sebesar US$70 per ton.
Harga batubara US$70 per ton tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Desember 2019. Pemerintah menetapkan volume maksimal batubara dengan harga jual US$70 per ton, sebesar 100 juta ton per tahun. Keputusan pemerintah itu diambil agar tarif listrik tidak mengalami kenaikan sehingga menjaga daya beli masyarakat dan industri.
(Setyaki Purnomo)