Jakarta MERDEKANEWS - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa penanganan permasalahan sengketa tanah Jatikarya telah tuntas dan satu tersangka ditetapkan oleh Bareskrim Polri.
"Saat ini penanganan permasalahan telah sampai pada proses penetapan dan penahanan satu orang tersangka oleh Bareskrim Polri," ucap Hadi dalam konferensi pers di Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Rabu (8/11/23), seperti dikutip dari detik.
Hal tersebut dipertanyakan oleh Ahmad selaku Tim Kuasa Hukum pihak yang memiliki surat atas tanah tersebut, menurutnya Pemerintah harus lebih transparan dalam memberikan keterangan.
"Jika dengan luas lahan 48 Hektar, disebut selesai dengan mentersangkakan 1 orang, lalu bagaimana dengan kami yang telah lama memiliki lahan tersebut, dengan membeli dari warga dan kami jelas mempunyai girik," terang Ahmad kepada media, melalui siaran pers, Senin (20/11/23).
Menurutnya, upaya menjadikan satu orang sebagai tersangka tersebut, seakan-akan untuk menyatakan bahwa transaksi jual beli kami dengan warga tersebut tidak sah. "Sepemahaman kami, yang jadi tersangka tersebut kan Pengacara yang menjadi perwakilan warga saat dulu klien kami membeli tanah tersebut, tapi faktanya girik yang kami miliki telah juga kami menangkan hingga PK di Mahkamah Agung," paparnya.
"Jadi sangat heran, jika hari ini disebut masalah tanah tersebut telah selesai dengan adanya satu tersangka," tambah Ahmad.
Hal lain yang juga menjadi perhatian Ahmad, yakni pernyataan Menteri ATR/BPN yang menyebut bahwa Hadi mengatakan Panglima TNI melalui Satgas Anti Mafia Tanah mulai menindaklanjuti dan mengusahakan upaya hukum yang ada dan hasilnya, sertifikat hak pakai nomor 1 Jatikarya dapat diselamatkan.
"Dari sinilah Panglima TNI dan diteruskan oleh Satgas melaksanakan upaya hukum dan dari Satgas itu sudah berhasil untuk menyelamatkan sertifikat hak pakai nomor 1 Jatikarya dan tentunya berhasil menyelamatkan lahan seluas 48 hektare yang diperkirakan bernilai Rp 10 triliun," ujar Menteri ATR/BPN, masih dalam konferensi Pers tersebut.
Sementara, menurut Ahmad Kliennya memiliki surat girik yang asli, serta saat ini ada biaya konsinyasi yang dititipkan ke Pengadilan sebesar Rp 228.713.000.400.
"Bagaimana mungkin masih ada girik, bisa timbul sertifikat, dan sertifikat tersebut juga sudah pernah dibatalkan. Kemudian terkait nilai 10 Triliun yang disebut berhasil diselamatkan, jelas membuat kami bingung, kenapa ada biaya konsinyasi jika memang itu milik negara?," tegasnya.
"Selain girik, ada juga SPPT yang dikeluarkan oleh instansi sesuai dengan semua girik yang ada diatas tanah 48 hektar tersebut. Kenapa SPPT bisa timbul kalau itu tanah negara, siapa yang menimbulkan SPPT apa bukan instansi pemerintah bagian pajak? lalu kembali soal sertifikat mereka, apakah bisa timbul sertifikat tanpa warkah?" tanyanya menambahkan.
Terakhir, Ahmad memastikan bahwa tidak ada niat untuk melawan pemerintah, namun dia memastikan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan hak kliennya. Hanya saja, Ahmad merasa akan berat karena pihaknya harus berhadapan dengan pejabat pemerintah.
"Kita akan tetap berjuang sampai terbukti siapa yang benar, dan semua mendapat haknya. Tapi sebagai masyarakat kita harus mengadu kemana kalau pejabat yang berwenang sudah semena-mena menggunakan power untuk menguasai tanah rakyat dengan dalih tanah negara," pungkas Ahmad.
(Doddi)