
Jakarta, MERDEKANEWS - Kinerja maskapai penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk (Persero/GIAA) masih tersendat-sendat. Tahun lalu, keuangannya tekor US$213,4 juta, atau setara Rp2,88 triliun.
Direktur Utama Garuda, Pahala Nugraha Mansury mengatakan, sepanjang 2017, kerugian tersebut disebabkan oleh adanya perhitungan biaya luar biasa yang terdiri dari program pengampunan pajak (tax amnesty) dan denda terkait kasus hukum di Australia.
Jika tidak memasukkan biaya tersebut, maka kerugian yang dicatatkan relatif lebih kecil, yaitu 67,6 juta dolar AS. "Nilai 213,4 juta dolar AS yang termasuk pos khusus. Pos khususnya apa, jadi memang adanya biaya berpartisipasinya Garuda di program tax amnesty, dan juga yang lebih kecil dari itu, terkait kasus hukum di Australia sebesar 7,5 juta dolar AS,” kata Pahala saat paparan kinerja di Kantor Pusat Garuda Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta, Senin (26/2/2018).
Namun demikian, perseroan tetap mengantongi laba bersih sebesar US$70,4 juta di semester II-2017 yang merupakan akumulasi laba bersih di kuartal tiga tahun lalu sebesar US$61,9 juta dan di kuartal empat, yaitu US$8,5 juta.
GIAA juga membukukan pendapatan operasi sebesar US$4,2 miliar sepanjang 2017, atau meningkat 8,1% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar US$3,9 miliar. “Pendapatan perseroan terutama dipacu pertumbuhan penumpang yang meningkat 3,5 persen,” kata mantan direktur Bank Mandiri ini.
Sepanjang 2017, okupansi penumpang maskapai pelat merah ini sebanyak 36,2 juta penumpang. Sementara, di 2016 angkanya masih 35 juta penumpang.
Pendapatan perseroan juga ditopang menanjaknya lini layanan penerbangan tidak berjadwal sebesar 56,9% menjadi US$301,5 juta. Pengeluaran tercatat naik 13% menjadi US$4,25 miliiar dari posisi sebelumnya US$3,7 miliar. Pengeluaran terbesar berasal dari biaya bahan bakar (fuel) yang naik 25% dari 2016 lalu yang sebesar US$924 juta menjadi US$1,15 miliar di 2017.
#GarudaIndonesia#KinerjaKeuangan#GarudaMerugi#BUMN#
(Setyaki Purnomo)