
Jakarta, MERDEKANEWS - Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dinobatkan sebagai Menteri Terbaik se-dunia dalam World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab. Tapi jangan puas dulu.
"Jangan puas dulu bu SMI (Sri Mulyani Indrawati)," papar anak buah Prabowo ini kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/2/2018).
Pernyataan Heri tentu agar SMI tidak lupa diri dengan prestasi tersebut. Bukan pula hanya sebuah pernyataan 'nyiyir' yang diselimuti kebencian mendalam. Namun, Sri Mulyani diingatkan soal tugas berat pasca prestasi tersebut bakal semakin berat.
Heri menyebut, sejumlah pekerjaan rumah yang belum beres. Sebagai contoh, postur APBN yang kredibel yang belum berhasil disusun. "Ini adalah janji SMI yang belum dilunasi. Bahwa bagaimana postur APBN kita bisa benar-benar kredibel tanpa pemborosan di sana-sini," papar Heri.
Dirinya berharap Sri Mulyani jangan sampai terlalu berbangga diri. Karena, apapun yang sifatnya terlalu, selalu menghasilkan yang tidak baik. Apalagi, rakyat Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta jiwa, membutuhkan bukan sekadar penghargaan, pujian, dan sanjungan. "Mereka butuh postur APBN yang bisa mengangkat martabat semua orang. Kita tahu, kemiskinan masih di kisaran 27 juta jiwa, ketimpangan di kisaran 0,39, daya beli masih stagnan di kisaran 4,9 persen," papar Heri.
Selanjutnya Heri menyebutkan: "Bukankah, tidak elok kita berbangga diri dengan sanjungan, penghargaan dan pujian, di saat saudara-saudara kita masih ada yang tersisih?"
Dirinya juga mengingatkan bahwa penobatan Sri Mulyani sebagai menteri terbaik di dunia, bukan lantas tidak bisa dikritik atau bersih dari kesalahan. Dalam hal ini, kata Heri, Sri Mulyani harus tetap bisa menerima semua masukan. Dan, harus tetap terbuka dengan kritik bahwa pengelolaan belanja dan utang dalam APBN belum maksimal.
Ke depan, paparnya, skenaro akan digantungkan sepenuhnya pada sektor keuangan. "Belum lagi soal defisit APBN yang belum mampu dipecahkan dan berkibat pada beban utang yang besar. Tercatat, masih ada gap antara pendapatan dan belanja negara," tutur Heri.
Menurutnya, prestasi yang disandang Sri Mulyani memiliki konsekuensi berat. Harus dijadikan cambuk bagi Sri Mulyani untuk bisa membebaskan lebih dari 250 juta jiwa dari beban utang. "Sri Mulyani jangan sampai terlena oleh rasio utang yang sering disebut masih aman itu. Kita tahu, rasio utang terus menunjukkan angka yang naik," tandasnya.
Pada 2014, lanjutnya, rasio utang mencapai 24,7% dari produk Domestik bruto (PDB). Setahun berikutnya naik tajam menjadi 27,4%. Pada 2016, kembali bertumbuh menjadi 27,9%. Dan pada 2017 rasio utang menclok di level 28,2%. "Tahun ini, rasio utang diproyeksikan bisa menyentuh 29 persen terhadap PDB. Ini adalah pekerjaan rumah yang besar yang harus dipecahkan terus-menerus. Itu tidak selesai dengan sanjungan, pujian, dan penghargaan," papas Heri.
Heri bilang, Sri Mulyani harus terus mengoreksi dan mengevaluasi seluruh kinerja institusi yang dipimpinnya.
Terus mencari pendapatan negara dengan lebih kreatif. Lebih-lebih dengan berakhirnya Program Pengampunan Pajak, negara makin sulit merealisasikan penerimaan yang lebih baik.
Di sisi lain, kata dia, beban jatuh tempo pembayaran utang terus membesar. Tahun ini, jumlahnya mencapai Rp390 triliun. Sementara tahun depan naik lagi menjadi Rp420 triliun. "Total jenderal pembayaran utang jatuh tempo mencapai Rp810 triliun," paparnya.
Terakhir, kata Heri, penghargaan, sanjungan, dan pujian adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab, lebih dari 250 juta rakyat Indonesia butuh lebih dari itu. Setuju pak.
(Setyaki Purnomo)