
Jakarta, MERDEKANEWS - Komisi VI DPR berencana memanggil Direksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Pemanggilan terkait anjloknya laba bersih sebesar 87,64% dalam lima tahun terakhir.
Rencana tersebut disampaikan anggota Komisi VI DPR, Sartono Hutomo di Jakarta, Senin (12/2/2018). “Saya akan sampaikan kepada pimpinan, rencana pemanggilan terhadap PGN. Setidaknya setelah reses dua minggu, yang dimulai 16 Februari 2018,” kata Sartono.
Dalam rapat kerja nanti, lanjut Sartono, PGN harus menyampaikan laporan keuangan selama beberapa tahun. Saat itu pula, Komisi VI DPR akan menanyakan penurunan laba bersih yang dinilai sangat tajam.
Selama lima tahun, laba bersih PGN memang terus anjlok. Jika pada 2012, BUMN itu meraup US$890 juta, pada 2013 turun menjadi US$804 juta. Pada 2014-2016, laba bersih PGN kembali tergerus dari US$711 juta menjadi US$401 juta dan US$304 juta. Sedangkan pada 2017, diperkirakan kembali rontok menjadi US$110 juta.
Memburuknya kinerja PGN ini, berbanding terbalik dengan anak perusahaan Pertamina yang bergerak pada sektor yang sama, PT Pertamina Gas (Pertagas). Periode 2012-2017, laba bersih Pertagas relatif stabil. Dalam kurun waktu tersebut, laba bersih Pertagas meningkat 16,67%, yakni US$120 juta pada 2012 dan US$140 juta pada 2017. Bahkan pada 2018, laba bersih Pertagas sudah melampaui PGN.
Terkait penurunan laba bersih PGN tersebut, kata Sartono, Komisi VI akan memanggil Menteri BUMN Rini Sumarno. Kementerian BUMN seharusnya melakukan pengawalan dan supervisi terhadap BUMN agar tidak mengalami penurunan kinerja keuangannya. “Ini yang juga belum detail kita peroleh dari Kementerian BUMN, mengapa sampai bisa menurun sekali kinerja PGN,” kata Sartono.
Terkait menurunnya kinerja PGN ini, sangatlah aneg apabila Menteri Rini memaksakan Holding BUMN Migas. Di mana, PGN yang akan mengakuisisi Pertagas. Padahal, jelas-jelas Pertagas lebih sehat dari sisi keuangan. “Saya curiga ada masalah kroni di usaha gas tersebut. Kroni-kroni orang pemerintah atau partai pemerintah, apalagi menjelang Pemilu. Akuisisi dipakai agar bisa mengambil uang dari Pertagas untuk Pemilu,” kata Arbi Sanit, pengamat ekonomi politik asal UI.
Arbi menambahkan, bahwa selingkuh-selingkuh perusahaan negara memang sering terjadi menjelang Pemilu. Dana tersebut dipergunakan untuk mendukung politik, yang memang luar biasa besar. “Ini mirip dengan rencana pemotongan gaji 2,5 persen gaji PNS untuk zakat. Padahal, pengumpulan zakat akan menghasilkan uang yang sangat banyak menjelang Pemilu, triliunan rupiah,” ujarnya.
Di sisi lain, Arbi mengatakan bahwa Menteri BUMN Rini Sumarno selalu berpegang pada teori. Yaitu, bahwa dengan modal besar, maka perusahaan akan kuat bersaing sehingga akan bisa menambah pemasukan bagi negara.
Tetapi yang jadi masalah, lanjut Arbi, karena untuk memperbesar modal itu, justru PGN yang sakit yang akan mengakuisisi Pertagas. Mestinya, kata Arbi, kalau ingin efisien, bubarkan saja PGN agar tidak membebani keuangan negara.
(Setyaki Purnomo)