
Jakarta, MERDEKANEWS - Draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang belum diketok DPR. Jika semua pihak tidak jeli maka revisi KUHP mengancam kebebasan berekspresi.
KUHP dinilai mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Indikasinya, masuknya pasal penghinaan presiden dalam draf revisi KUHP.
Jika KUHP sampai disahkan maka para aktivis dan penggiat sosial media harus waspada. Artinya, mereka tidak bisa lagi cuap-cuap mengkritik Presiden.
Sedangkan para penggiat sosial media juga wajib waspada. Jangan asal posting karena bisa berujung bui.
"RKUHP mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi," ujar Perwakilan Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang juga sebagai Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
Dia mengatakan, kembalinya pasal penghinaan presiden yang merupakan salah satu monumen penjajah kolonial adalah bukti revisi KUHP bertentangan dengan konstitusi.
Lanjut dia, ketentuan lain juga menyumbang iklim ketakutan untuk berdemokrasi seperti pasal-pasal pidana yang dapat menjerat kritik terhadap pejabat, lembaga negara dan pemerintah yang sah, serta larangan mengkritik pengadilan.
"Belum lagi diperburuk dengan ancaman pidana yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk membunuh kebebasan berekspresi dan memberangus proses demokrasi," paparnya.
Adapun mereka yang terlibat dalam Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selain ICJR di antaranya Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, Imparsial.
(Sam Hamdan)