
Jakarta, MERDEKANEWS - Pemerintah disarankan mencabut PP Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Beleid ini menghambat investasi sektor perkebunan dan kehutanan. Rating bisa melorot tajam.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), Riyanto, mengatakan, salah satu regulasi yang perlu dihapus yakni PP Nomor 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut karena menghambat investasi pada sektor perkebunan dan kehutanan.
Mengutip kajian Lee Kuan Yew School of Public Policy, kata Riyanto, di sejumlah provinsi yang menjadi sentra perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) seperti Riau dan Sumatera Selatan, saat ini, peringkat investasinya anjlok.
Anjloknya peringkat investasi di daerah, tentunya akan memengaruhi rating investasi Indonesia. Padahal, sebelumnya, tiga pemeringkat investasi internasional, yakni Fitch Ratings, Standards and Poor’s (S&P), dan Moody’s Investor Service, memberi rating sangat positif terhadap iklim investasi di Indonesia.
Riyanto mengingatkan, pemerintah perlu menyiapkan mitigasi ekonomi. Yakni solusi jika PP gambut tetap diberlakukan, semisal, anjloknya investasi, naiknya tingkat penggangguran, tidak adanya kepastian berusaha, serta terbengkalainya pembangunan infrastruktur.
"Saat ini yang banyak digembar gemborkan hanya mitigasi lingkungan namun tidak menyentuh dampak ekonomi dan sosial yang bisa mempengaruhi sendi-sendi perekonomian dan merusak tatanan bangsa," kata Riyanto.
Investasi sektor kehutanan dan perkebunan, saat ini, mencapai angka di atas Rp277,32 triliun. Dengan diberlakukannya PP gambut, sekitar 45% dari nilai investasi itu, bakal terganggu. Dampaknya, jangan hanya dilihat di industri sawit dan HTI saja, namun juga sektor lain seperti perbankan, infrastruktur dan industri pengolahan.
Total investasi industri hulu dan hilir kehutanan, serta investasi hulu dan hilir perkebunan yang dibiayai pinjaman dalam negeri, mencapai Rp83,75 triliun. Sedangkan yang dibiayai pinjaman luar negeri mencapai Rp193,57 triliun.
Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi Rp254 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga bakal terimbas beleid tersebut. Harus diingat, komposisi sektor ini, lebih dari 70% yang berasal dari produk-produk turunan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang nilainya Rp1.800 triliun.
Saat ini, Presiden Jokowi tengah giat menarik investasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, listrik, energi dan air bersih. Di daerah, pemprov berlomba menarik investasi dengan inovasi perizinan satu pintu, reformasi birokrasi, perbaikan regulasi investasi dan pembangunan kawasan industri. "Sayang jika pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut Presiden Jokowi menjadi sia-sia karena regulasi yang menakutkan tetap dipertahankan," kata Riyanto.
Ketua Umum Ketua Masyarakat Sawit Indonesia (MAKSI), Darmono Taniwiryono mengingatkan, penerbitan regulasi lahan, seharusnya mempunyai kontribusi positif untuk menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG) melalui pengelolaan lahan gambut terpadu dan bijaksana.
Kajian ilmiah puluhan perguruan tinggi dan lembaga independen, termasuk MAKSI, menunjukkan bahwa PP 57/2016 tidak mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan, dan bisa mematikan pertumbuhan industri sawit yang menjadi tulang perekonomian nasional. Sayangnya, hasil kajian tersebut seolah tak pernah dihiraukan pemerintah.
"Jika PP itu dipaksakan, dampaknya sangat jelas yakni hilangnya pendapatan dan pekerjaan masyarakat, berkurangnya pendapatan asli daerah, berkurangnya pendapatan negara dari pajak, hilangnya devisa ekspor, dan PHK massal," tegas Darmono.
(setyaki purnomo)