Prof Djo: Tak Ada Peluang Ahok Mengisi Kekosongan Jabatan Gubernur DKI Jakarta
Prof Djo: Tak Ada Peluang Ahok Mengisi Kekosongan Jabatan Gubernur DKI Jakarta
Pakar Otonomi Daerah, Prof.Dr. Djohermansyah Djohan MA

Jakarta, MERDEKANEWS -- Pakar Otonomi Daerah, Prof.Dr. Djohermansyah Djohan MA memberikan tiga pilihan dalam mengisi kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta dan daerah lainnya.

Namun, Prof Djo sapaan akrabnya, mengusulkan agar masa jabatan 272 kepala daerah yang habis sebelum tahun 2024 diperpanjang. Langkah itu lebih baik ketimbang mengangkat Pj ASN.

"Jika pemerintah mempertimbangkan opsi itu, maka tinggal UU Pilkada 10/2016 pasal 201 ayat 9, 10, 11 direvisi," kata Prof Djo sapaan akrabnya kepada media, Selasa (4/1/2021).

Dengan solusi itu, terang Prof Djo, legitimasi yang dipertanyakan menjadi tidak ada. Sebab, kepala daerah adalah hasil pilihan rakyat, sehingga legitimasi tetap kuat meski masa jabatannya diperpanjang. “Itu sudah ada tradisinya, praktik empiriknya dulu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah diperpanjang masa jabatannya 3 tahun karena habis masa jabatannya, gara-gara UU Keistimewaan DIY No 13/2012 belum selesai,” ujar Presiden i-Otda (institut Otonomi Daerah) ini.

Terkait tiga pilihan itu, terang Prof Djo, pertama, jika terjadi kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta dan provinsi  lain tahun 2022, maka yang akan mengisi adalah dari jabatan pimpinan tinggi madya ASN atau Eselon I dari pemerintah pusat di kementerian apapun, seperti Kemendagri, Kemenkeu, Bappenas,  Kemenhan, dan lain-lain.

Menurutnya, itu  diatur dalam pasal 201 UU No10/ 2016. Jadi, kalau ada orang yang bukan ASN dari politisi, mau jadi gubernur di DKI apakah itu mantan Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, mantan Gubernur DKI jakarta Basuki Tjahja Purnama atau wakil Gubernur DKI Jakarta Reza Patria,  tidak ada peluang sama sekali menurut aturan UU Pilkada No 10/2016 itu.

"Kita lihat aturan tradisi yang berlaku. Selama ini untuk DKI dari Kemendagri yang jadi caretaker Gubernur. Contoh yang paling aktual, dulu waktu jabatan Gubernur DKI Jakarta kosong karena Ahok kampanye, maka Mendagri, Tjahjo Kumolo menunjuk Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Sonj Sumarsono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Itu sesuai dengan aturan main dan praktek empirik selama ini," kata Prof Djo.

Jadi, kata Prof DJo, tidak ada peluangnya bagi non ASN. Boleh dari kementerian mana saja, tapi saat ini prakteknya dari Kemendagri, karena sudah pasti lebih paham pemerintahan lokal. "Tidak perlu belajar lagi, tinggal di mantapkan, dimatangkan dilapangan, bertugas sebagai gubernur di Ibukota Negara," terang Prof Djo.

Prof Djo memberikan catatan adapun ASN yang ditunjuk sebagai Pj KDH biasanya tidak melepas jabatan struktural ASN. Artinya, mereka harus membagi waktu dalam bertugas, sekalipun ada plt di jabatan ASN-nya.

“Contohnya, saya dulu Dirjen Otda, kemudian diangkat jadu PJ Gubernur Riau. Saya tetap menjadi Dirjen Otda, jadi saya mengurus Otda dan juga mengurus Riau,” urai Pj Gubernur Riau 2013 hingga 2014 ini.

Kedua, lanjutnya, apakah kekosongan itu mungkin diisi dari  non-ASN? Menurutnya, hal itu mungkin saja, kalau ada pemilihan lewat DPRD untuk mengisi kekosongan jabatan. Misalnya, Reza dari Fraksi Gerindra di DKI ikut pencalonan, Airin maju didukung oleh PAN, Ahok diusung PDIP, tapi mesti dengan memperbaiki dulu UU No 10/ 2016, atau diubah formulanya. Awalnya kalau ada kekosongan jabatan gubernur diangkat dari ASN, lalu diganti kalau terjadi kekosongan jabatan Gubernur di DKI diadakan pemilihan oleh DPRD sampai dengan dilantiknya gubernur dan wagub hasil pilkada serentak nasional bulan November 2024.

Masa jabatannya sekitar 2 tahun lebih, bukan 5 tahun. Karena bulan November 2024 digelar pilkada serentak nasional. Semuanya harus tunduk dalam aturan pilkada serentak nasional. Misalnya, dibikin pemilihan Gubernur DKI pada bulan Juni 2022, tentunya setelah direvisi UU pilkada lalu dipilih gubernur lewat DPRD, tanggal 16 Oktober 2022 dilantik gubernur DKI oleh Presiden, maka masa jabatannya terhitung 16 Oktober 2022 sampai dengan terpilihnya Gubernur hasil pilkada serentak Pilkada Nasional 2024.

"Itu bisa, baik Reza, Airin, Ahok atau Anies jika juga maju. Jadi, persaingan bisa lewat DPRD dengan banyak-banyakan kursi. Bisa terjadi potensi politik uang karena oligarki bisa bermain. Menurut saya sangat riskan karena orang akan berusaha untuk mendapatkan jabatan gubernur DKI yang prestisius," ujarnya.

Lalu, Prof Djo mempertanyakan, bagaimana agar aman dan sesuai dengan demokrasi?  Perpanjang saja masa jabatan gubernur DKI Jakarta. "Jadi Gubernur dan Wagub DKI Jakarta bisa dibikin perpanjangan. Karena Anies berakhir pada Oktober 2022. Dia diperpanjang sampai dilantiknya gubernur DKI hasil pilkada serentak nasional pada bulan November 2024," tuturnya.

Menurut Prof Djo cara seperti itu lebih aman karena tidak ada lagi pemilihan lewat DPRD sehingga tidak ada praktek-praktek politik kotor atau politik uang, tidak ada mahar-mahar. "Saya bilang demokratis karena Anies adalah gubernur yang tahun 2017 dipilih oleh rakyat. Berarti sampai 2022 mandatnya masih ada karena dia terpilih langsung oleh rakyat. Jadi menambah perpanjangan. Anies punya legitimasi dan sebaliknya ASN tidak punya karena dia diangkat dan bukan dipilih langsung oleh rakyat," katanya.

Prof Djo mengungkapkan ada gubernur yang diperpanjang sebelumnya sampai 3 tahun. Contohnya Gubernur DIY dulu masa jabatannya tahun 2009 habis, tapi aturan menyangkut cara memilih gubernur DIY belum jadi. Karena aturan itu belum jadi, padahal dia sudah habis masa jabatan. Lalu ketika itu oleh Presiden SBY diterbitkan Keppres diperpanjang masa jabatannya dari tahun 2009 sampai 2011. Lalu 2011 apa yang terjadi? UU keistimewaan DIY belum jadi juga.

"Kebetulan saya sebagai ketua Panja Pemerintah menghadapi DPR dengan ketua komisi II Agun Gunanjar, disepakati agar diperpanjang lagi masa jabatan gubernur DIY. Maka dilapor ke presiden. Jadi di Jogja itu pernah kita perpanjang masa jabatan gubernur hingga tiga tahun. Lalu baru jadi UU nya pada tahun 2012, UUnya nomor 13/ 2012 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Baru setelah itu dipilih lewat penetapan DPRD DIY, Artinya praktek empiris perpanjangan masa jabatan gubernur sudah ada," ungkapnya.

Kemudian, tanya Prof Djo lagi, adakah masa jabatan pemerintah yang diperpendek? Contoh pada pilkada Desember tahun 2020 karena pandemi, dilantiknya baru tahun 2021 seperti Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo. Kemudian masa jabatannya harus habis tahun 2024. Artinya masa jabatannnya 3 tahun.

"Logikanya, kalau ada kepala daerah bisa diperpendek, mengapa tidak bisa diperpanjang. Yang penting aman, tidak ada politik uang, chaos dan demokrasi. Itu konsep yang kita pilih, terserah mau pilih yang mana," terang Dirjen Otda Kemdagri tahun 2010-2014 itu.

Dari ketiga pilihan tersebut, Prof Djo menegaskan, yang paling aman dan demokratis adalah pilihan ketiga mestinya yang diadopsi melalui revisi UU No 10/2016. Dengan pengisian kekosongan kepala daerah tahun 2022 hingga 2023 dengan cara perpanjangan masa jabatan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah. Itu perubahan aturannya  sangat simple dan tidak rumit lewat perppu saja. Karena keadaan sangat sangat mendesak.

“Kalau diadopsi, maka ini akan membuat pemerintahan daerah di bawah orang yang sedang menjabat ini akan lebih efektif ketimbang mengangkat Pj KDH dari ASN,” sebut Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

"Kalau formula sudah jadi tinggal political will, Maka rakyat harus ikut untuk ambil bagian. Ketiga pilihan mana yang dipilih oleh publik. Jangan serahkan kepada politisi yang bukan ahlinya. Selain itu hindarkan pj gubernur dari ASN, karena TNI/Polri besar kemungkinan bisa masuk utamanya jika dia pegang jabatan strutural ASN. Itu berarti ada faktor polisi dan tentara masuk pemerintahan di daerah. sehingga tidak baik dalam membangun demokrasi yang sehat dengan supremasi sipil," pungkasnya.

(Deka)
Pemimpin Rasa Boss
Pemimpin Rasa Boss
Prof Djohermansyah: Publik Pertanyakan Pengangkatan 5 Penjabat Gubernur Yang Dinilai Tidak Transparan
Prof Djohermansyah: Publik Pertanyakan Pengangkatan 5 Penjabat Gubernur Yang Dinilai Tidak Transparan
Eloknya Demokrasi
Eloknya Demokrasi
Dari LPU ke KPU
Dari LPU ke KPU