Gagasan Sosialisme di Tengah Negara yang Beragama
Gagasan Sosialisme di Tengah Negara yang Beragama
Tan Malaka

Oleh: R.H. Handini Wulan, M.Ikom

Tinjauan Kultural Kondisi Indonesia Berdasarkan Konsepsi Sosialisme Tan Malaka dalam Madilog

Tan Malaka (selanjutnya Tan) pernah dicap sebagi komunis yang anti agama (ateis), disebabkan ia menjadi anggota komintern (komunis Internasional), dan sebab umumnya anggota komunis di negara lain, cenderung tidak beragama sekaligus ateis. Lenin misalnya, selaku pendiri negara komunis pertama di dunia, yaitu Uni Soviet, dalam biografinya dijelaskan tidak menganut agama, bahkan ia tidak percaya Tuhan sejak usia 15 tahun, yaitu setelah ayahnya meninggal karena serangan kanker.

Tapi lewat bukunya yang berjuluk Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan menegaskan keyakinannya pada Islam, dan mengakui Islam sebagai ajaran yang menuntun hidupnya. Jadi, Tan merupakan seorang muslim.

Namun akibat tragedi yang terjadi pada malam 30 September, yang berlanjut hingga dini hari 1 Oktober 1965, sebagaimana dicatat dalam sejarah, telah terjadi penculikan dan pembunuhan para jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat oleh komponen PKI, maka tidak sedikit masyarakat Indonesia yang traumatik bila mendengar diksi ‘komunis’. Tuduhan bahwa Tan adalah komunis, seakan tidak memberinya ampun. Ia wafat dibunuh dengan dalih menjadi komunis, juga dilecut oleh traumatik peristiwa G30S/1O 1965 itu. 

Di berbagai negara-bangsa, sesungguhnya berserakan kaum komunis yang tidak anti agama dan tidak benar-benar ateis. Louis Althusser di Prancis misalnya, yang merupakan anggota Partai Komunis Prancis, dan menjadi salah seorang Marxist unggul di sana, tetap menjadi Katolik hingga akhir hayatnya.

Lewat buku Madilog, Tan mengajak bangsa kita untuk menganut sosialisme, tapi bukan seperti sosialisme yang bercorak Marxisme-Leninisme, melainkan sosialisme yang dinukil dari ajaran agama. Tan menyebut Islam adalah agama sosialis. Perintah untuk melaksanakan zakat, infaq, dan sodaqoh (ZIS), adalah pertanda bahwa Islam merupakan agama yang beraliran sosialisme. 

Lebih jauh lagi, adalah ‘the jure’ Islam diturunkan dengan mengemban amanah ‘rahmatan lil ‘alamin’ (berkah bagi seluruh alam), maka untuk mencapai kemaslahatan umat dan menjadi berkah bagi seluruh alam itu, adalah menjadi tugas para agamawan Islam dalam mewujudkannya. Bisa dikatakan, bila agamawan Islam tidak sosialis, maka ia tidak mengamalkan amanah menjadi ‘rahmatan lil’alamin’ (berkah bagi semesta).

Sebab nama Tan telah dibersihkan, dan bahkan diangkat menjadi Pahlawan Nasional, adalah tidak berlebihan bila menengok kembali gagasan dalam Madilog, untuk ikut mengartikulasikan gagasan sosialisme di tengah negara-bangsa yang beragama ini. Sosialisme itu, bagi saya, dapat diartikan sebagai faham untuk membangun individu yang saleh (baik), agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Bunyi sila dalam Pancasila, bila kita periksa, adalah suatu falsafah untuk menciptakan individu yang bukan saja percaya kepada Tuhan serta beragama, namun sekaligus harus memiliki jiwa nasionalisme dan sosialisme.

Agar Islam dapat menjadi berkah, Tan menyarankan agama sebaiknya dipisah dari persoalan politik dalam kenegaraan. Saran Tan ini, bisa jadi diberangkatkan dari bukti sejarah, bahwa ketika manusia terkontaminasi oleh politik dan rebutan kekuasaan, maka yang terjadi adalah anarkisme bahkan sadisme. Sejarah perang ‘Shifiin’ di Arab, yaitu antara Ali bin Abi Thalib beserta pengikutnya, berhadapan dengan Ummayah (Gubernur Yaman), terjadi karena masalah politik dan kekuasaan. Perang Shifiin telah melahirkan dua golongan umat dalam Islam, yaitu antara golongan Sunni dan syiah, yang sejak perang Shifiin hingga kini, senantiasa berseberangan. 

Di Arab saja, yang menjadi tempat kelahiran Islam, dan belum jauh dari Nabi Muhammad, manusia akan saling tikam ketika terkontaminasi oleh nafsu berkuasa karena uang. Apalagi di Indonesia, realita sosialnya menunjukan naluri untuk menumpuk kekayaan dan ingin berkuasa, yang membuat manusia hanya mementingkan kepentingannya. Sastrawan Voltaire dari Prancis mengingatkan, di hadapan uang, agama semua orang cenderung sama, yaitu hipokrit.

Sikap Tan yang hendak memisahkan agama dari politik/negara, memperoleh dukungan dari kalangan nasionalis-religius muslim, yang juga berpikiran perlu memisahkan agama dari politik/negara, namun tetap menjadikan Islam sebagai sumber ajaran kehidupan. Tan menulis dalam Madilog di halaman 187: 

Berhubungan dengan ini maka Yang Maha Kuasa jiwa terpisah dari jasmani, surga atau neraka yang di luar Alam Raya ini, tiadalah dikenal oleh ilmu bukti, semuanya ini adalah di luar daerahnya Madilog. Semuanya itu jatuh ke arah kepercayaan semata-mata.

Ada atau tidaknya itu pada tingkat terakhir ditentukan oleh kecondongan persamaan masing-masing orang. Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini, saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung.

Tan tidak menganjurkan Indonesia menjadi Negara komunis dalam artian seperti yang didoktrinkan melalui pemikiran penganut Marxisme-Leninisme. Bahkan dalam Madilog, Tan menilai komunisme tidak cocok untuk bangsa Nusantara. Akan tetapi, lagi-lagi Tan menguatkan bahwa sosialisme sangat cocok untuk bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sebab dalam Islam, faham sosialisme adalah wujud dari pelaksanaan ketaatan dan kesalehan seorang muslim.

Ajakan Tan untuk menganut faham sosialisme itu, dapat dimaknai dari tulisannya dalam Madilog halaman 89. Ia menulis:

“Allah itu Maha Kuasa, Maha Suci, Maha Mulia, Maha Tahu, hadir pada semua tempo dan pada semua tempat. Jadi pada tiap-tiap detik dan tempat, bisa betulkan hati dan laku mahluk-Nya dan terutama Dia Maha-Pengasih. 

Jadi Tuhan Allah, sarwa sekalian Alam, yang Maha Pengasih itu akan sampai hati berabad-abad melihatkan ribu-jutaan hambanya yang lemah dan fana itu diazab dibakar api neraka, berkali-kali sesudah dijadikan sebesar gunung! Allahu Akbar!”

Allah itu Maha Pengasih, dan karena itu, diksi kasih merupakan sifat Allah yang utama dan pertama. Jika rasa kasih diwujudkan dalam tindakan, maka lahirlah sifat sayang. Itu sebabnya, sifat Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebab Allah bukan hanya berwacana tentang kasih, namun mewujudkan kata kasih itu dalam tindakan. Itu sebabnya pula, tiap umat Islam senantiasa dianjurkan membaca bismillah secara lengkap, sebelum berbuat sesuatu atau mengambil tindakan. Anjuran ini sebenarnya sekaligus untuk mengingatkan umat Islam agar dalam tiap tindakannya, senantiasa dilandasi oleh sifat kasih dan sayang.

Pelaksanaan dari sifat kasih dan sayang itulah yang bisa membawa manusia menjadi bermanfaat atau maslahat (menguntungkan). Tidak akan lahir manusia yang soleh jika tidak menjalankan sifat kasih dan sayang. Ketika kita kehilangan kasih dan sayang, sebenarnya kita sedang meniadakan Allah dalam jiwa kita.

Oleh: Penulis merupakan mahasiswi program doktoral Ilmu Komunikasi Univ.Sahid

(Redaksi)
Marwah Pancasila dan Peran BPIP di antara Keragaman Ideologi, Bahasa dan Istiadat
Marwah Pancasila dan Peran BPIP di antara Keragaman Ideologi, Bahasa dan Istiadat
Menangkal Gejolak Hoax dan Menengok Teori Representasi Media Massa Stuart Hall
Menangkal Gejolak Hoax dan Menengok Teori Representasi Media Massa Stuart Hall